« friday five places | Main | energized! »

"orang asing"

(a friend sent this today... very interesting stuff...)

Tempo - 1 Agustus 1999
goenawan moehammad

Ketika persatuan menjadi kesatuan, sebuah negeri pun menjadi totalitas, dan orang asing akan terusir dari ambang pintu. Totalitas adalah sebuah kehendak, mungkin sebuah ambisi, untuk merangkum apa saja yang lain, yang berbeda, dalam satu kesamaan.

Totalitas adalah sebuah mimpi tentang kebersamaan secara khusus: kebersamaan sebagai kesamaan.

Bukan kebetulan apabila ada sambungan antara mimpi semacam itu dan tata yang "totaliter." Ketika Supomo, ahli hukum dan pemikir utama yang menyusun Undang-Undang Dasar 1945, membayangkan Indonesia yang akan lahir, ia dengan bersemangat memakai istilah "totaliter" untuk Republik yang datang. Ia mencita-citakan persatuan Indonesia menjadi kesatuan Indonesia. Seperti sebuah keluarga. Seakan-akan sebuah republik adalah sebuah unit yang alamiah. Dan ketika sebuah republik dianggap sebagai sebuah satuan yang alamiah, sebuah kehidupan yang rukun pun mungkin akan terbayang, tapi akan selalu ada orang asing yang terusir dari ambang pintu.

Orang asing: ia sebenarnya tidak pernah jauh. Ia dekat dengan urat nadi kita. Orang asing adalah siapa saja yang tidak bisa tenggelam dalam ambisi kesamaan. Siapa gerangan yang tidak bisa tenggelam itu? Jawabnya: setiap wajah. Wajah, seperti kata Emannuel Lavinas, bukanlah sekadar gabungan hidung, dahi, mata, dan seterusnya. Wajah adalah "sebuah cara yang tak bisa direduksikan, dengan apa makhluk dapat menghadirkan diri dalam identitasnya".

Dalam pandangan ini, wajah lebih dekat dengan pengertian "raut muka" ketimbang pengertian "paras", yang hanya menyentuh permukaan, tempat tata rias digoreskan, sering dengan cara yang sama dan hasil yang mirip. Namun, "raut muka" juga lebih bersifat jasmani. "Wajah," sebaliknya, mengandung sebuah rahasia. Tapi ia juga sesuatu yang hadir, yang muncul, seakan-akan mengandung sebuah inspirasi, bahkan mungkin wahyu, yang diwedar: ada sesuatu yang menakjubkan dalam manusia. Sebuah enigma. Juga sebuah "epifani".

Ia tak bisa diringkas. Ia tak bisa diringkus. Ia tak bisa diketahui, bila pengetahuan adalah sesuatu yang menguasai rahasia yang tak terbatas dalam sebuah konsep yang terbatas. Ia tak bisa dikuasai oleh penalaran, ia tak bisa diobok-obok oleh analisis, ia tak bisa dirangkum oleh pemahaman. Setiap wajah adalah orang asing, dan dalam arti tertentu liar, tapi Lavinas mengemukakan lebih jauh: setiap orang asing adalah bebas. Aku tak punya kuasa atas dirinya. Ia senantiasa mrucut dari tangkapku. "Ia tak sepenuhnya berada di tempat yang kutempati". Ia mungkin bagian dari kebersamaan, tapi ia tak pernah bisa jadi bagian dari kesamaan.

Dalam salah satu sajaknya, Baudelaire menyebut orang asing sebagai extraordinaire yang dari asal-usul katanya berarti "di luar yang tatanan lazim". Sebab itu, orang asing menyulitkan siapa saja yang hendak membentuk totalitas. Totalitas itu, sebagaimana galibnya, mempunyai sebuah bentuk yang kurang-lebih final, dan pada gilirannya, tak hendak diganggu-gugat. Tapi orang asing adalah wajah, dan setiap wajah mengandung sebuah gugatan. Orang asing, kata Lavinas, mengganggu kejenakan kita dengan diri sendiri, le chez soi.

Dalam sajak Baudelaire, orang asing itu tak punya bapak, tak punya sanak saudara dan handai tolan, juga tak punya tanah kelahiran ataupun kekayaan. Jadi, apa yang kau cintai, hai orang asing? Jawabnya: "Aku mencintai awan, awan yang lewat." Seperti dirinya, awan itu berada dalam transit, sudah berangkat, tapi belum sampai. Tak ada yang sudah dipatok dan dikatakan dengan buku yang ditutup. Bisa dianggap mengganggu, memang.

Tapi haruskah sebuah republik menjadi sebuah buku yang ditutup? Di bawah buku yang ditutup, di luar lajur, selalu ada yang tak terduga dan tak hendak dicatat, yang extraordinaire dan pada gilirannya tak diakui. Di buku tertutup orang harus punya kategori: punya bapak, sanak saudara, kampung halaman, milik. Yang tidak punya akan merupakan unsur yang harus dicampakkan.

Ganjil dianggap sebagai antitesis dari genap, dan "genap" seakan-akan sama dengan sebuah pencapaian, lengkap, penuh, selesai.

Tapi yang ganjil selamanya berteriak, meskipun tak selamanya terdengar. Bukan selalu teriak kepedihan. Keasingan adalah sesuatu yang menyebabkan manusia menghormat, dan pada saat yang sama berendah hati. Orang asing di ambang pintu kita dengan segera mengingatkan kita bahwa kita juga orang asing baginya. Ketegangan di saat itu pada hakikatnya justru meletakkan aku dan dia pihak dalam posisi yang senasib, menjadi "kami", bahkan menjadi "kita" dan dengan demikian, apa yang menakutkan dalam "asing?"

Sekian dasawarsa yang lalu Chairil Anwar menulis, "aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang", dan ia mengasosiasikannya dengan heroisme dalam luka. Pada hari ini sudah begitu banyak luka, begitu banyak yang terbuang dengan atau tanpa heroisme dan hari ini kita mulai tahu: setiap aku adalah binatang jalang. Ambisi totalitas mungkin menembakkan peluru. Tapi paras bisa hancur, wajah tak akan bisa ditembus.